Artikel: Hak Asasi Manusia (HAM)
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Masalah Hak merupakan unsur
normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada
pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan
interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu
yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali
dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi
dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi.
Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita
hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan
pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM
pada diri kita sendiri. Sebagai salah satu tugas PKN penulis memberikan judul “
Hak Asasi Manusia”.
2. Definisi dan Pengertian HAM
Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerahNya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Pengertian HAM menurut UDHR sering
dinilai masih pada tahap Generasi 1 Konsep HAM, yaitu isinya sarat dengan hakhak
yuridik dan politik. Sedangkan jika memperhatikan pengertian HAM menurut UU No.
39 Tahun 1999 di atas, tampak mengandung visi filsafati dan visi yuridis
konstitusional. Kemudian pengertian HAM meurut visi politik dapat diidentikan
dengan pendekatan structural, karena keduanya lebih menonjolkan pengertian HAM
dalam kehidupan seharihari yang cenderung banyak pelanggaran. Memperhatikan
berbagai pengertian /konsep/definisi hak asasi tersebutdi atas dapat
disimpulkan bahwa HAM merupakan hak yang melekat (inheren) pada setiap orang
yang merupakan karunia dari Tuhan YME, bukan pemberian Negara, pemerintah dan
atau orang lain. Kewajiban dan tidak boleh dihilangkan atau dihapus oleh
siapapun dengan alasan apapun. Karena kebutuhan dasar manusia dimanapun pada
hakekatnya sama seperti hak atas hidup,, bebas mengeluarkan pikirannya, bebas
dari rasa takut, tidak ingin dieksploitasi, hidup bahagia dan lainlain, maka
HAM merupakan sesuatu yang bersifat Universal. Berdasarkan beberapa rumusan HAM
di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM
yaitu:
•
HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari
manusia secara otomatis.
•
HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis,
pandangan politik atau asalusul sosial dan bangsa.
•
HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau
melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara
membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
Ketika
Kekerasan Seksual Terhadap Anak Terjadi di Lembaga Pendidikan
Senin, 05 Mei 2014
Kasus kekerasan yang terjadi di
lingkungan lembaga pendidikan selalu membuat kita terhenyak. Kita terkejut dan
marah, tidak bisa menerima kenyataan bahwa perbuatan itu dilakukan oleh
orang-orang yang kepadanya kita percayakan pendidikan (lebih jauh lagi, masa
depan akademik) anak-anak kita. Kekerasan ini dapat berupa kekerasan fisik,
psikis maupun seksual. Saat ini kita dikejutkan dengan kasus kekerasan seksual
di TK Jakarta International School (JIS). Peristiwa ini terkuak berkat
keberanian orang tua korban dan semua pihak yang berkomitmen untuk berjuang
korban (dan korban lainnya) memperoleh keadilan dan berjuang agar tidak ada
lagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Korban pun adalah seorang
yang pemberani, pahlawan cilik, meski keadaannya saat ini sungguh
memperihatinkan, belum lagi membayangkan bagaimana masa depannya nanti akibat
trauma kekerasan seksual yang dialaminya.
Terhadap kasus yang terjadi di
JIS, timbul pertanyaan: Ketentuan mana yang dapat terapkan kepada pelaku (para
pelaku)? Terhadap perbuatan ini maka terdapat 2 (dua) ketentuan yang mengatur
yakni KUHP dan UU Perlindungan Anak. Dalam hal ini, Pasal 289 KUHP memberikan
ancaman maksimal sembilan tahun pidana penjara bagi pelaku dan Pasal 82 UU
Perlindungan Anak memberikan ancaman minimal 3 tahun penjara dan maksimal 15
tahun penjara dengan denda minimal 60 juta rupiah dan maksimal 300 juta Rupiah.
Lalu
ketentuan mana yang akan diterapkan?
Sesuai rumusan Pasal 63 Ayat (2)
KUHP yang menentukan bahwa jika suatu perbuatan (percabulan dengan
kekerasan/ancaman kekerasan yang kita sebut sebagai kekerasan seksual), yang
masuk dalam satu aturan pidana yang umum (diatur dalam KUHP), diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus (UU Perlindungan Anak), maka hanya yang khusus itulah
yang dikenakan. Dengan demikian, sesuai dengan asas lex specialis derogat legi
generali, dalam kasus kekerasan seksual yang dialami oleh siswa TK JIS, maka
aturan yang kita pergunakan adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. UU ini diamanatkan untuk dijadikan sebagai landasan hukum
dalam memberikan perlindungan kepada seluruh anak Indonesia. Dalam hal ini,
utamanya anak sebagai korban. Lahirnya UU ini sebagai penyempurnaan dari
ketentuan dalam KUHP yang mengatur tentang kekerasan seksual terhadap anak dan
menjadi ketentuan yang khusus.
Kelebihan penggunaan aturan
khusus ini bahwa terdapat ancaman minimal khusus baik untuk pidana penjara
maupun dendanya. Untuk pidana penjaranya yakni 3 tahun penjara, sehingga pelaku
tidak dapat dihukum kurang dari 3 tahun penjara. Adapun denda diancamkan secara
kumulasi dengan pidana penjara, jadi bukan hanya dapat dijatuhi pidana penjara
namun juga pidana denda minimal 60 juta Rupiah. Perlu kita perhatikan bahwa
jika perbuatan ini dilakukan lebih dari satu kali baik terhadap korban yang
sama/berbeda, maka dapat diterapkan aturan tentang gabungan tindak pidana untuk
masing-masing pelaku seperti diatur di dalam Pasal 65 KUHP. Sesuai Pasal 65
Ayat (2) KUHP, terhadap pelaku dapat dijatuhkan pidana penjara yang lamanya
maksimal 20 tahun. Jika dilakukan oleh lebih dari satu orang maka dapat
diterapkan ajaran penyertaan sesuai Pasal 55 dan/atau 56 KUHP, tergantung peranan
masing-masing pelaku dalam tindak pidana tersebut. Baik pelaku yang sudah
teridentifikasi keterlibatannya dalam kasus ini maupun yang belum.
Mengapa Pasal 65, 55 dan/atau 56
KUHP digunakan? Karena menurut Pasal 103 KUHP, ketentuan umum dalam Buku I KUHP
juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan
lainnya diancam dengan pidana (Pasal 82 UU Perlindungan Anak memuat sanksi
pidana) kecuali jika oleh UU ditentukan lain. Karena UU Perlindungan Anak tidak
menentukan aturan yang berbeda dengan KUHP maka dengan demikian pasal-pasal
dalam KUHP tersebut dapat diterapkan.
Tenaga
Pendidik, Tenaga Kependidikan dan Pola Rekrutmen
Setiap lembaga pendidikan
diharapkan mempekerjakan tenaga pendidik (guru/dosen) dan tenaga kependidikan
(pegawai/karyawan non guru) yang kompeten, mempunyak kredibilitas dan semua
hal-hal yang baik lainnya. Rekrutmen sesuai peraturan eksternal (misalnya
sesuai dengan UU Ketenagakerjaan dan aturan turunannya) maupun internal
(ditentukan sendiri oleh pihak perusahaan) tentu diterapkan, namun biasanya
aturan itu khususnya diberlakukan untuk calon pegawai tetap. Dalam hal
rekrutmen pegawai tentu ada beragam tes, diantaranya tes potensi akademik,
psikotes dan wawancara. Nah dari psikotes ini dapat diperoleh gambaran minat
dan bakat dari si calon pegawai. Yang bersangkutan mungkin saja berbakat
sebagai guru, namun perlu diperiksa juga rekam jejaknya, apakah pernah
tersangkut dengan suatu tindak pidana.
Berdasarkan pengalaman, untuk
pola rekrutmen Pegawai Negeri Sipil, calon PNS diwajibkan mengurus Surat
Keterangan Cakap Kelakuan di Polres setempat, hal ini sebagai salah satu cara
untuk meminimalisir lembaga pendidikan “kecolongan” mempekerjakan pegawai yag
tak sesuai harapan dan kompetensi. Meski persoalan disorientasi seksual, dalam
hal pedofil, belum tentu dapat diuji dan terekspos dari psikotes atau terekspos
dari hasil wawancara. Ini terbukti bahwa ada pelaku pedofilia yang berprofesi
sebagai guru (tenaga pendidik) selama bertahun-tahun di Indonesia bahkan di
berbagai negara. Tentu diperlukan alat uji tambahan terhadap hal ini, demi
kepentingan terbaik bagi peserta didik, namun JIS tentu tidak melakukan ini
kepada petugas alih daya. Untuk itu JIS perlu memastikan bahwa pihak penyedia
jasa kebersihan tersebut adalah perusahaan yang dapat dipercaya dan
mempekerjakan orang-orang yang dapat dipercaya, dipercaya untuk tidak menyakiti
peserta didik. Karena lembaganya bergerak dalam bidang pendidikan bahkan untuk
usia dini. Untuk itu perlu dipertanyakan pula pola rektrutmen dari perusahaan
penyedia jasa kebersihan tersebut.
Yang patut disayangkan adalah
reaksi guru terhadap perilaku dan lalu lintas murid selama dalam jam sekolah di
lingkungan sekolah. Dalam kelas korban tentu muridnya tidak terlalu banyak,
sehingga tetap bisa dipantau keadaannya. Jika ia terlalu lama berada di luar
kelas, perlu diperiksa pergi ke mana dan sedang apa? Bukankah anak usia dini
perlu didampingi jika ke kamar kecil, meski kemandirian juga diterapkan. Lalu
jika murid mengadukan hal-hal yang tidak menyenangkan apalagi perlakuan tidak
baik, perlu direspon dengan positif. Kemudian masyarakat pun menduga adanya
keterlibatan guru-guru di sana dalam kasus ini bahkan menduga bahwa peristiwa
ini sudah berlangsung lama dan telah terjadi beberapa kali. Jika terbukti ada
keterlibatan guru, maka pola rekrutmen pengajar di JIS harus diperbaharui.
Lalu saya juga mempertanyakan
tugas pihak keamanan sekolah, apakah melulu mengandalkan CCTV? Apakah tidak ada
patroli rutin di tempat-tempat sepi atau yang tidak ada CCTV-nya? Apakah
ancaman hanya ada di luar gerbang sekolah, apakah tidak berpikir bahwa ancaman
terhadap anak juga bisa datang dari dalam sekolah?
Peranan
Pemerintah dalam Penanganan Kasus JIS
Tatkala kekerasan seksual
terhadap anak terjadi di lingkungan sekolah, apa yang harus kita lakukan?
Melaporkan hal tersebut pada pihak yang berwenang dalam hal ini kepada guru,
pengurus sekolah, selanjutnya kepada pihak kepolisian dan lembaga pemerhati hak
anak misalnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia serta Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (jika syarat permohonan perlindungannya dipenuhi). Lebih baik
lagi jika keluarga korban segera membawa anak tersebut melakukan visum di RS
dan melakukan pemeriksaan di laboratorium sesuai arahan tenaga medis dan
meminta bantuan psikolog anak. Jika pihak sekolah tidak menanggapi dengan baik?
maka kita menaruh harapan tertinggi pada sistem peradilan pidana dengan
pendampingan dari lembaga-lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Karena pada umumnya
korban dan keluarganya tidak mengetahui dengan jelas prosedur apa yang harus
ditempuh, data apa saja yang perlu disiapkan/dilengkapi, hak-hak apa saja yang
dimiliki oleh korban, bagaimana menangani trauma yang dialami korban serta
pemulihannya dan sebagainya.
Jika ditinjau lebih jauh, maka
menjadi pertanyaan: mengapa peristiwa ini sampai terjadi? Apakah pemerintah
belum melakukan fungsi pengawasan dan evaluasi terhadap semua lembaga
pendidikan dengan optimal? Mengapa ada sekolah yang tidak memiliki ijin?
Mengapa ada petugas kebersihan yang berani menyakiti murid dan tak diketahui
pihak sekolah? Mengapa ada guru yang memiliki riwayat pedofilia dan masih
melakukannya mengajar di lembaga pendidikan? Bagaimana mungkin ada pengurus sekolah
yang menurut pemberitaan, berlaku kurang ko-operatif ketika kasus ini terkuak
dan bergulir hingga hari ini? Dan berbagai pertanyaan bagaimana dan mengapa
lainnya. Kenyataannya, korban telah jatuh dan jangan sampai ada lagi. Idealnya,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beserta jajarannya mulai tingkat pusat
sampai daerah seharusnya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap semua
lembaga pendidikan yang ada di wilayahnya. Setiap lembaga pendidikan yang
melanggar aturan harus diproses dan dikenai sanksi.
Saat ini korban telah didampingi
oleh KPAI dan LPSK. Ini merupakan suatu dorongan yang sangat dibutuhkan oleh
korban dan keluarganya. KPAI mengumpulkan data dan informasi, menerima dan
merespon pengaduan orang tua korban, melakukan penelahaan, pemantauan serta
evaluasi terhadap kasus ini. LPSK sebagai lembaga yang dapat memberikan jaminan
perlindungan bagi korban tindak pidana (yang memenuhi syarat sesuai Pasal 5
Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban). Korban
berhak mendapat hak-hak sesuai dengan rumusan Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan
Korban, khususnya berupa perlindungan atas keamanan pribadi serta bebas dari
ancaman. Selanjutnya korban melalui LPSK berhak pula atas restitusi atau ganti
kerugian yang menjadi tanggungjawab pelaku. Intinya, semua pihak yang
menghalang-halangi pemberian perlindungan ini diancam dengan pidana. Dalam
penyelesaian kasus ini sesuai prosedur hukum, maka kepolisian sebagai garda
terdepan dalam sistem peradilan pidana diharapkan memberikan reaksi yang
pantas, sebagai pelayan dan pelindung masyarakat yang dapat diandalkan.
Demikian pula para jaksa dan hakim yang menangani kasus ini, diharapkan memberi
keadilan bagi para pencari keadilan.
Saatnya semua pihak yang terkait
berbenah diri dan berkoordinasi untuk bekerja sama menuntaskan kasus ini,
tuntas dalam perspektif memberi keadilan pada korban, tuntas menguak semua
tabir yang menyelimutinya. Bahkan partisipasi masyarakat termasuk lembaga
swadaya masyarakat diharapkan dapat mengawal proses hukum ini. Sehingga semua
pihak yang terlibat dapat dimintai pertanggungjawabannya sesuai hukum yang
berlaku. Karena Indonesia sudah darurat nasional kasus kekerasan seksual
terhadap anak dan pelaku yang diberi istilah predator ada di mana-mana dan
menjadi keperihatinan kita bersama.
Kesimpulan
HAM
adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap
individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu
kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.
Dalam kehidupan bernegara HAM
diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk
pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu
instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM,
pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM
sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Saran
Lembaga Konsultasi & Bantuan
Hukum - Pilihan Penyelesaian Sengketa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
dapat mengambil peranan sebagai pendamping baik terhadap korban maupun terhadap
pelaku, serta memberikan bantuan hukum. Pendampingan atau bantuan hukum ini
dapat diberikan sejak pemeriksaan kepolisian, hingga di pemeriksaan di
pengadilan. Dalam pemberian pendampingan dan bantuan hukum ini, pihak korban
atau pelaku lah yang biasanya lebih proaktif. Namun demikian, hal ini
dikembalikan pada tujuan pendirian lembaga bantuan hukum yaitu memberikan
bantuan bagi pihak-pihak yang kurang mampu untuk memperoleh akses keadilan.
Sumber
Kenanda
Queenta Mulya
14213795
2EA16